Monday, September 26, 2011

Bentet Kelabu Lanius schach Linnaeus, 1758


Bentet Kelabu Lanius schach Linnaeus, 1758
Bentet Kelabu, Long-tailed shrike adalah spesies burung yang mempunyai paruh, berdarah panas, dan membiak dengan cara bertelur. Berukuran agak besar (25 cm), berwarna hitam, coklat, dan putih, berekor panjang. Dewasa: dahi, topeng, dan ekor hitam, sayap hitam dengan bintik putih, mahkota dan tengkuk abu-abu atau abu-abu hitam; punggung, tunggir, dan sisi tubuh coklat kemerahan; dagu, tenggorokan, dada, dan perut tengah putih. Luas warna hitam pada kepala dan punggung bervariasi, tergantung pada ras, individu, dan umur. Remaja: lebih suram dengan garis pada sisi tubuh dan punggung, kepala dan tengkuk lebih abu-abu.

Terdapat mulai dari Iran sampai Cina, India, Asia tenggara, Semenanjung Malaysia, Filipina, Sunda Besar, Nusa Tenggara sampai Papua di lombok juga begelanyat..he (ikbal,2011)

Friday, September 23, 2011

KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG DI GILI MENO DESA GILI INDAH KECAMATAN PEMENANG LOMBOK BARAT

ANDY SETIAWAN
G1A003004


ABSTRAK
Indonesia termasuk dalam lima megadiversitas burung didunia setelah Kolombia, Peru, Brazil dan Ekuador dengan jumlah burung 1539 spesies. Keberadan burung di suatu habitat memberikan banyak manfaat antara lain : burung dapat berfungsi sebagai pengendali hama, membantu dalam proses penyerbukan, dan merupakan obyek menarik untuk sarana pendidikan dan penelitian, serta dapat juga dipergunakan sebagai penarik minat wisatawan untuk berkunjung. Oleh karena itu kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna apabila ditangani secara serius, merupakan suatu aset dalam industri pariwisata terutama wisata pengamatan burung (Birdwatching). Tujuan  penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan karakteristik habitat burung, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambangan daerah ini menjadi suatu daerah konservasi serta daerah ekowisata. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2007 di Gili Meno. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan metode titik hitung dengan jumlah titik pengamatan sebanyak 9 titik dan diikuti dengan pengukuran parameter lingkungan. Jenis burung yang ditemukan sebanyak 28 jenis yang termasuk ke dalam 20 famili. Terdapat 2 jenis yang termasuk burung endemik di kawasan Nusa Tenggara, 10 jenis burung migran, dan 4 jenis burung yang dilindungi. Beberapa jenis habitat di Gili Meno yang dimanfaaatkan oleh burung antara lain adalah pemukiman, perhotelan, kebun, semak, tepi pantai dan danau yang dikelilingi mangrove.
Kata Kunci : Burung, Karakteristik Habitat, Parameter lingkungan

INVENTARISASI BURUNG DI SEKITAR TAPAK PROYEK PEMBANGUNAN TAMAN WISATA AIR TANJUNG KARANG MATARAM


Ismail
G1A 004 023
 
ABSTRAK
 
Daerah Pesisir Pantai Tanjung Karang merupakan lahan yang kosong yang
belum diberdayakan secara tepat. Selain dalam upaya pemberdayaan daerah pesisir,
kebutuhan masyarakat akan sarana rekreasi membuat pemerintah Kota Mataram
berencana membangun taman wisata air di daerah tersebut. Rencana pembangunan
Taman Wisata Air Tanjung Karang Mataram tidak hanya akan menambah
pendapatan bagi pihak pemerintah Kota  Mataram tetapi juga akan menyebabkan
perubahan struktur fisik dari habitat yang ada, sehingga memberikan dampak negatif
bagi komponen biologi lingkungan yang ada  dalam tapak proyek dan sekitar tapak
proyek. Oleh sebab itu sebelum pembangunan dilakukan, perlu  kiranya dilakukan
kajian maupun inventarisasi komponen biologi lingkungan sebagai rona lingkungan
awal daerah tersebut. Salah satu komponen biologi yang akan terkena dampak adalah
burung. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 dengan tujuan untuk mengetahui
jenis-jenis burung apa  saja  yang terdapat di daerah sekitar rencana lokasi tapak
proyek pembangunan Taman Wisata Air Tanjung Karang sebagai rona lingkungan
awal kawasan tersebut. Pengamatan dilakukan pada pagi dan sore hari menggunakan
metode jelajah. Hasil yang diperoleh dari  penelitian ini, yaitu ditemukan 31 jenis
burung yang masuk dalam 17 famili dan 8 ordo.
 
Kata kunci: Pesisir, Tanjung Karang, Inventarisasi, Burung, Rona Lingkungan.
 

Keanekaragaman Burung Di Kawasan Estuaria Sekongkang dan Sejorong Sumbawa Barat

 
Burung merupakan bioindikator kualitas lingkungan yang sangat baik
karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (penurun kualitas makanan
dan lingkungan). Salah satu faktor yang menjadi penarik kedatangan burung
adalah tersedianya sumber makanan yang melimpah. Estuaria merupakan daerah
ekoton yang mampu menyediakan sumber makanan yang melimpah bagi berbagai
spesies satwa salah satunya adalah  burung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keanekaragaman serta fluktuasi spesies dan populasi burung di
kawasan estuaria Sekongkang dan Sejorong Sumbawa Barat. Metode yang
digunakan adalah point counting dengan meletakkan titik-titik pengamatan pada
titik-titik yang ditentukan melalui survei terlebih dahulu. Penelitian ini dimulai
dari bulan November 2008 - Maret  2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
total spesies burung yang ditemukan sebanyak 56 spesies burung yang tergolong
dalam 30 famili. Di kawasan estuaria Sekongkang terdapat 49 spesies burung
sedangkan di kawasan estuaria Sejorong terdapat 43 spesies burung. Di kedua
kawasan, dalam tiap bulannya (November  2008 – Maret 2008) terjadi fluktuasi
jumlah spesies dan populasi burung. Jumlah spesies burung tertinggi untuk
kawasan Sekongkang terjadi pada bulan Desember 2008 sebanyak 30 spesies
burung sedangkan di kawasan estuaria Sejorong terjadi pada bulan Februari 2009
sebanyak 29 spesies burung. Jumlah populasi burung tertinggi di kawasan
Sekongkang terjadi pada bulan Desember 2008 yaitu sebanyak 130 individu
sedangkan untuk kawasan estuaria Sejorong terjadi pada bulan Maret 2009 yaitu
sebanyak 173 individu. Kepadatan burung di kawasan estuaria Sekongkang ± 20
individu/Ha sedangkang di kawasan estuaria Sejorong ± 28 individu/Ha.
 
 
Kata Kunci : Keanekaragaman, Burung, Estuaria.

KEANEKARAGAMAN BURUNG DAN HABITATNYA DI SEPANJANG JALUR PENDAKIAN SENARU KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI SERTA POTENSINYA UNTUK DIKEMBANGKAN SEBAGAI EKOWISATA BIRDWATCHING

Disusun oleh:

Lalu Achmad Tan Tilar Wangsejati Sukmaring Kalih
G1A005029

Abstrak

Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupakan salah satu kawasan perlindungan alam yang ada di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini memiliki dua jalur pendakian resmi yaitu jalur pendakian Senaru dan Sembalun. Diantara kedua jalur tersebut, jalur pendakian Senaru memiliki bentuk habitat yang khas yang terbagi ke dalam beberapa zonasi kawasan perlindungan. Bentuk habitat khas yang terdapat di sepanjang jalur Pendakian Senaru secara langsung akan mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis flora dan fauna terutama burung yang menjadi komponen penting penyusun ekosistem kawasan perlindungan tersebut. Dari hasil pengamatan yang dilakukan telah teridentifikasi 665 individu burung yang tergolong dalam 42 jenis dan 23 famili burung. Burung-burung tersebut tersebar di tiga tipe habitat yang dilalui jalur pendakian Senaru. Ketiga tipe habitat tersebut adalah lahan perkebunan, hutan hujan tropis, dan padang rumput. Jenis vegetasi yang menyusun habitat perkebunan terdri dari tanaman budidaya yang sengaja ditanam oleh penduduk sekitar. Habitat ini tersusun dari 4 strata vegetasi yaitu strata B, C, D, dan E. Tidak jauh berbeda dengan habitat perkebunan, habitat hutan hujan tropis tersusun dari 5 jenis strata yaitu strata A, B, C, D, dan E. Padang rumput merupakan bentuk habitat terakhir yang dilalui jalur pendakian Senaru. Habitat ini memiliki 2 jenis strata yaitu strata E dan C. Ketiga habitat tersebut memiliki keanekaragaman burung yang berbeda-beda. Keanekaragaman burung serta habitatnya di sepanjang jalur pendakian Senaru sangat berpotensi untuk dijadikan objek wisata alam berbasis ekologi (ekowisata) terutama wisata pengamatan burung (birdwatching).

Kata kunci : keanekaragaman burung, habitat, jalur pendakian Senaru, ekowisata, Taman Nasional Gunung Rinjani

KEANEKARAGAMAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG-BURUNG DI GILI TRAWANGAN LOMBOK BARAT

Adi Yani Hukmi
G1A 003 001

ABSTRAK

Penelitian burung di kawasan Wallacea masih sedikit dilakukan.  Gili Trawangan memiliki potensi terestrial untuk kehidupan burung, tetapi kegiatan pembangunan fasilitas wisata dapat merusak habitat burung tersebut.  Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2007, dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan karakteristik habitat burung-burung di Gili Trawangan.  Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan konservasi maupun Birdwatching.  Data diambil dari 14 titik pengamatan yang meliputi : jumlah dan jenis burung, serta dilakukan juga pengukuran parameter lingkungan (untuk menggambarkan karakteristik habitat yang ada) seperti pengukuran suhu, kelembaban, kecepatan angin, intensitas suara dan dilakukan juga analisis vegetasi.  Setiap titik pengamatan memiliki radius 50 m, dengan jarak 2 titik terdekat sekitar 350 m.  Pengamatan dilakukan pada pagi dan sore hari, dan waktu pengamatan pada setiap titik yaitu 10 menit.  Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu ditemukan 27 jenis burung yang termasuk ke dalam 19 famili dan 8 ordo. Ditemukan juga beberapa tipe habitat yang dijumpai adalah padang rumput, daerah pesisir pantai, kebun kelapa, pemukiman, semak dan daerah konservasi.  Pada tipe habitat tersebut, ditemukan burung-burung yang berbeda dari segi ukuran, sifat, maupun tingkah lakunya.

Kata Kunci : Burung, Birdwatching, Karakteristik Habitat.


KEANEKARAGAMAN BURUNG DI SAVANA JALUR PENDAKIAN SEMBALUN, KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI SERTA POTENSINYA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BIRDWATCHING

AHMAD SYARIF
G1A 006 003
Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupakan salah satu kawasan perlindungan alam yang ada di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini memiliki beberapa jalur pendakian salah satunya adalah jalur pendakian Sembalun. Jalur pendakian Sembalun memiliki bentuk habitat yang khas yang berupa savana. Kekhasan habitat savana yang terdapat di sepanjang jalur pendakian Sembalun mempengaruhi keanekaragaman jenis flora dan fauna khususnya burung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman burung di savana jalur pendakian Sembalun kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani serta potensinya untuk pengembangan ekowisata Birdwatching. Penelitian ini dilaksanakan di savana jalur pendakian Sembalun kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani dari bulan Oktober-Desember 2010. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode garis transek. Garis transek yang digunakan adalah jalur pendakian Sembalun dengan jarak dan lebar pengamatan 50 m. Di jalur tersebut dilakukan inventarisasi jenis burung dan jumlah individunya secara audio maupun visual. Pengambilan data dilakukan sebanyak 5 kali dengan alokasi waktu 1 hari selama 1 periode pengamatan (3 minggu). Data yang didapatkan dianalisis menggunakan program Excel untuk membuat  kurva penemuan jenis dan analisis tabel tingkat pertemuan jenis. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 25 jenis burung yang termasuk ke dalam 20 suku, dengan kelimpahan jenis relatif jarang, tidak umum dan sering. Berdasarkan jenis makanannya ditemukan burung insektivora, karnivora, frugivora, granivora, dan nektarivora. Berdasarkan struktur vegetasi rumput di savana terdapat 3 kelompok burung yaitu burung prober, launcher dan foliage gleaner. Dilihat dari jumlah jenis, dan kelimpahan burung, savana jalur pendakian Sembalun berpotensi untuk pengembangan ekowisata birdwatching.

Kata kunci : burung, Taman Nasional Gunung Rinjani, savana, Sembalun, dan  ekowisata.


Thursday, September 15, 2011

Kelelawar FC : Costum baru


Kelelawar FC
Merupakan club sepak bola yang ada di daerah Lombok timur selatan, yang saat ini lagi mau naek daun.
Club ini sering tanding dan sparing sama club-club yang lain di Lombok timur selatan, hasil pertandingannya imbang sama-sama,  sebenarnya pemain-pemain yang ada di Klelawar FC merupakan pemain yang berbakat, bersemangat dan sering latihan tapi yang kurang adalah manajemen pada saat latihan dan taktik mereka maseh  sangat kurang ini bias di lihat pada saat bertanding melawan club dari tanjung luar, tenagadan kecepatan jauh unggul Klelawar FC tapi yang kurang adalah pengaturan posisi pemain dan kurang kerja samanya.
Untuk sekarang ini pemain dari Kelelawar FC terbagi menjadi 2 bagian pemain yang pertama kelopok utama yang isisnya pemain-pemain yang umurnya 18 tahun ke atas sedangkan kelompok kedua adalah pemein-pemain yang umurnya 15-17 tahun. Pembagian kelompok ini di latar belakangi oleh beberapa hal yaitu pemain cadangannya banyak yang tidak di turunkan pada saat pertandingan.ik@
Pernyataan salah satu pemain dari Kelelawar FC pada tanggal 010911 yaitu untuk sekarang kita akan focus untuk pertandingan kedepan yaitu liga di keruak yang kemungkinanakan bertemu dengan club-club yang handal, makanya dari sekarang kita  merancang costum baru dan taktik penyerangan dan bertahan..heheheee (ikbal, 2011)

Wednesday, September 14, 2011

Tentang Raden Mas Soebandiman Dirjo Atmojo








Ia lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Keraton Paku Alam. Beliau adalah putra pertama dari RM Pakoe Soedirdjo, buyut dari Paku Alam II. Sejak berusia 9 tahun beliau telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada di lingkungan keraton sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya di lingkungan daerah Paku Alaman. Di samping pencak silat beliau juga belajar menari di Istana Paku Alam sehingga berteman dengan Wasi dan Bagong Kusudiardjo.
Pak Dirdjo yang pada masa kecilnya dipanggil dengan nama Soebandiman atau Bandiman oleh teman-temannya ini, merasa belum puas dengan ilmu silat yang telah didapatkannya di lingkungan istana Paku Alaman itu. Karena ingin meningkatkan kemampuan ilmu silatnya, pada tahun 1930 setamat HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau sekolah menengah pendidikan guru setingkat SMP, beliau meninggalkan Yogyakarta untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki. Tempat yang dikunjunginya pertama adalah Jombang, Jawa Timur.
Di sana beliau belajar silat pada KH Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama dan lainnya diperoleh dari Pondok Pesantren Tebuireng. Di samping belajar, beliau juga bekerja di Pabrik Gula Peterongan untuk membiayai keperluan hidupnya. Setelah menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, beliau kembali ke barat. Sampai di Solo beliau belajar silat pada Sayid Sahab. Beliau juga belajar kanuragan pada kakeknya, Ki Jogosurasmo.
Beliau masih belum merasa puas untuk menambah ilmu silatnya. Tujuan berikutnya adalah Semarang, di sini beliau belajar silat pada Soegito dari aliran Setia Saudara. Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di Pondok Randu Gunting Semarang. Rasa keingintahuan yang besar pada ilmu beladiri menjadikan Pak Dirdjo masih belum merasa puas dengan apa yang telah beliau miliki. Dari sana beliau menuju Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Di sini beliau belajar lagi ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosannya selalu menimba ilmu dari berbagai guru. Selain itu beliau juga belajar silat Minangkabau dan silat Aceh.
Tekadnya untuk menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuat beliau tidak bosan-bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal yang baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang. Beliau yakin, bila segala sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan menuntun untuk mencapai cita-citanya. Beliau pun mulai meramu ilmu silat sendiri. Pak Dirdjo lalu menetap di Parakan, Banyumas, dan pada tahun 1936 membuka perguruan silat dengan nama Eko Kalbu, yang berarti satu hati.
Di tengah kesibukan melatih, beliau bertemu dengan seorang pendekar Tionghoa yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie (Shaolinshi), Yap Kie San namanya. Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie dari Hoo Tik Tjay. Menurut catatan sejarah, Louw Djing Tie merupakan seorang pendekar legendaris dalam dunia persilatan, baik di Tiongkok maupun di Indonesia, dan salah satu tokoh utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia persilatan, Louw Djing Tie dijuluki sebagai Si Garuda Emas dari Siauw Liem Pay. Saat ini murid-murid penerus Louw Djing Tie di Indonesia mendirikan perguruan kungfu Garuda Emas.
Pak Dirdjo yang untuk menuntut suatu ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa lalu mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem (Shaolin) ini dari Yap Kie San selama 14 tahun. Beliau diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Melihat bakat Pak Dirdjo, Yap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid.
Berbagai cobaan dan gemblengan beliau jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai puncak latihan ilmu silat dari Yap Kie San. Murid Yap Kie San yang sanggup bertahan hanya enam orang, di antaranya ada dua orang yang bukan orang Tionghoa, yaituaz Pak Dirdjo dan R Brotosoetarjo yang di kemudian hari mendirikan perguruan silat Bima (Budaya Indonesia Mataram). Dengan bekal yang diperoleh selama merantau dan digabung dengan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang diterima dari Yap Kie San, Pak Dirdjo mulai merumuskan ilmu yang telah dikuasainya itu.
Setelah puas merantau, beliau kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Ki Hajar Dewantoro (Bapak Pendidikan) yang masih Pakde-nya, meminta Pak Dirdjo mengajar silat di lingkungan Perguruan Taman Siswa di Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar silat di Taman Siswa, Pak Dirdjo mendapatkan pekerjaan sebagai Magazijn Meester di Pabrik Gula Plered.
Pada tahun 1947 di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Seksi Pencak Silat, yang dikepalai oleh Mochammad Djoemali. Berdasarkan misi yang diembannya untuk mengembangkan pencak silat, Pak Dirdjo membuka kursus silat melalui dinas untuk umum. Beliau juga diminta untuk mengajar di Himpunan Siswa Budaya, sebuah unit kegiatan mahasiswa UGM (Universitas Gadjah Mada). Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya. Beberapa murid Pak Dirdjo saat itu di antaranya adalah Ir Dalmono yang saat ini berada di Rusia, Prof Dr Suyono Hadi (dosen Universitas Padjadjaran Bandung), dan Bambang Mujiono Probokusumo yang di kalangan pencak silat dikenal dengan nama panggilan Mas Wuk.
Tahun 1954 Pak Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Urusan Pencak Silat. Murid-murid beliau di Yogyakarta, baik yang berlatih di UGM maupun di luar UGM, bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia) yang diketuai oleh Ir Dalmono.
Tahun 1955 beliau resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Dengan tugas yang sama, yakni mengembangkan dan menyebarluaskan pencak silat sebagai budaya bangsa Indonesia, Pak Dirdjo membuka kursus silat yang diadakan di Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Mayangkara, Surabaya. Dengan dibantu oleh Imam Romelan, beliau mendirikan kursus silat PERISAI DIRI pada tanggal 2 Juli 1955.
Para muridnya di Yogyakarta pun kemudian menyesuaikan diri menamakan himpunan mereka sebagai silat Perisai Diri. Di sisi lain, murid-murid perguruan silat Eko Kalbu yang pernah didirikan oleh Pak Dirdjo masih berhubungan dengan beliau. Mereka tersebar di kawasan Banyumas, Purworejo dan Yogyakarta. Hanya saja perguruan ini kemudian memang tidak berkembang, namun melebur dengan sendirinya ke Perisai Diri, sama seperti HPPSI di Yogyakarta. Satu guru menjadikan peleburan perguruan ini menjadi mudah. Murid-murid Pak Dirdjo sebelum nama Perisai Diri muncul hingga kini (tahun 2008) masih hidup. Usia mereka berkisar antara 65 tahun hingga 70 tahun lebih dan masih bisa dijumpai di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.
Pengalaman yang diperoleh selama merantau dan ilmu silat Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan motto "Pandai Silat Tanpa Cedera", Perisai Diri diterima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dipelajari sebagai ilmu beladiri.
Tanggal 9 Mei 1983, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo berpulang menghadap Sang Pencipta (ik 2011)