Taman Narmada Tempo doeloe 1920
Di danau segara anak- gunung rinjani tempo doeloe
Ampenan
Jembatan D ampenan Tempo doeloe
Lapangan Umum/ taman sangkareang Tempo doeloe
Orang-orang masbagik tempo doeloe 1929
Ampenan
Pasar Masbagik temo doeloe
Seorang datu sasak tahun 1920
Taman Mayura cakranegara 1894
Perempuan sasak thun 1910
Pasar hewan di masbagik lombok timur tempo doeloe 1929
Gedang belek tahun 1929
Penganut agama hidu doele di lombok thn 1911
Anak agung ketut tahun 1894
Perempuan keturunan bali di lombok thun 1910
Kitab Nagarakertagama yang
ditulis pada tahun 1365 M oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab yang berbahasa jawa
kuno itu, diceritakan secara singkat tentang Lombok Mirah dan Sasak Adi.
Dalam pupuh ke 14 tertulis sebagai berikut:
“Muwah tang I Gurunsanusa ri Lombok
Mirah lawantikang Sasak Adi nikalu kebayian kabeh Muwah tanah I Bantayan
Pramuka Bantayan len Luwuk teken Udamakatrayadhi nikayang sanusa pupul.”
Kerajaan Selaparang, yang terletak di
Lombok Timur, kemungkinan adalah salah satu kerajaan yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Masyarakat yang ada di daerah Bayan dan Sembalun,
yang terletak di utara Lombok, percaya bahwa mereka adalah keturunan orang
Majapahit. Sebagian masyarakat Sasak dan para tetua percaya bahwa Gadjah Mada
meninggal di Selaparang, dimana makamnya di daerah tersebut masih ramai
dikunjungi para peziarah. Benar atau tidaknya masih menjadi perdebatan, namun
hal ini merupakan salah satu bukti bahwa ekspedisi Gadjah Mada yang ingin
menyatukan Nusantara mencakup juga Pulau Lombok.
Minimnya informasi mengenai Lombok pada
zaman tersebut mempersulit untuk mengetahui bagaimana bentuk kegiatan
masyarakat Lombok saat itu. Namun ada yang berpendapat bahwa masyarakat Lombok asli
pada saat itu menganut kepercayaan yang dinamakan Bodha. Ada dua pendapat
menganai apa itu Bodha. Ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa Bodha adalah
sebuah kepercayaan animisme murni yang masih percaya terhadap roh-roh nenek
moyang. Salah satu buktinya adalah ungkapan masyarakat Sasak “Nenek” yang
berarti “Tuhan”. Para tetua juga sering mengekspresikan perasaan emosional
dengan kata-kata “Nenek kaji” yang berarti “Oh Tuhanku”. Ada juga beberapa ahli
mengatakan bahwa Bodha tersebut adalah salah satu aliran dari sembilan aliran
hindu yang berkembang pertama kali di Bali, yakni Pasupata, Bhairawa, Siwa
Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora and Ganapatya.
Zaman Masuknya Islam
Berdasarkan catatan yang ada, Islam
masuk ke Lombok pada awal abad ke enam belas. Ada berbagai cerita atau legenda
yang terkait dengan masuknya Islam ini, namun setiap legenda berbeda sehingga
sangat sulit untuk melihat gambaran utuhnya. Namun menurut Marisson (1999)
kemungkinan perbedaan ini mencerminkan asal-usul diversifikasi islam di Lombok.
Ada yang berpendapat Islam masuk melalui Jawa, ada yang mengatakan melalui
Bangsa Melayu, Bugis, Sumbawa dan bahkan ada yang mengatakan berasal dari
pedagang Arab langsung. Tampaknya semua pendapat tersebut benar, namun
berdasarkan bukti yang ada islam pertama kali dibawa memang oleh Orang Jawa.
Berdasarkan Babad Lombok, Islam masuk ke
Lombok dibawa oleh Sunan Prapen, yang merupakan anak, atau pengikut Raden Paku
yang terkenal dengan julukan Sunan Giri, yang berasal dari Gresik. Sunan Prepen
memaksakan Islam masuk ke Lombok dengan kekuatan militer. Namun hal ini kurang
membuahkan hasil, dimana para permpuan bersikukuh dengan keyakinan lama mereka,
sedangkan para pemimpin adat atau suku yang tidak suka dengan situasi ini
memindahkan pusat pemerintahan dari pantai utara (Bayan) ke Selaparang. Setelah
kurang berhasil di Lombok, Sunan Prapen melanjutkan misinya ke Sumbawa dan
Bima. Sepulangnya dari Sumbawa dan Bima, Sunan Prapen mampir lagi ke Lombok dan
menyebarkan Islam lagi. Kali ini usahanya lebih berhasil. Salah satu
peninggalannya adalah Masjid Belek
(Masjid Besar) yang ada di Bayan. H.J. de Graff (1941) mengaitkan misi Sunan
Prapen ini dengan misi militer Sultan Trenggono dari Demak yang berkuasa pada
tahun 1521 sampai 1550 M. Sultan Trenggono mengirim misi menyebarkan Islam ke
seluruh Nusantara termasuk ke daerah timur. Memang terdapat kemiripan antara
tradisi Islam Sasak dengan Islam tradisional di daerah Jawa Timur seperti
Gresik, Pasuruan, Banyuwangi dan Madura.
Versi yang lain tentang masuknya Islam
di Lombok adalah misi Pangeran Sangupati, yang diceritakan dalam tulisan atau babad berjudul Pangeran Sangupati. Beliau membawa Islam mistik sinkritisme dari
Jawa. Islam berbau sufi ini kemudian dikaitkan oleh beberapa ahli sebagai asal-usul
kepercayaan waktu telu. De Graff
berpendapat bahwa Pangeran Pasupati ini berasal dari Bali. Pangeran Pasupati
sendiri di setiap daerah memiliki nama yang berbeda diantaranya Aji Duta Semu
(Jawa), Pedanda Wau Rauh (Bali) dan Tuan Semeru (Sumbawa).
Terdapat legenda lain yang tertera
dalam babad yang berjudul Nur Sada. Legenda ini menceritakan bahwa
pada zaman dahulu di Lombok terdapat seorang bijak bernama Said Mu’min yang
memiliki dua orang anak yakni Nur Cahya dan Nur Sada. Nur Cahya mengikuti kepercayaan
Waktu Lima, sedangkan Nur Sada mengikuti kepercayaan Waktu Telu. Nur Cahya
dengan kepercayaannya tidak pernah memperoleh kebahagiaan, sedangkan Nur Sada
selalu diperkati dan tidak pernah menderita. Akhirnya masyarakat Lombok
mengikuti kepercayaan Nur Sada karena menurut mereka lebih sesuai dengan
kebutuhan dan temperamen masyarakat Sasak.
Zaman Penjajahan Karangasem
Sejak masuknya Islam, muncul beberapa
pusat kebudayaan di Lombok, yang sebagian berkembang menjadi kerajaan,
diantaranya adalah Bayan dan Sembalun di utara, Selaparang di timur, Purwadadi
dan Sakra di Tenggara dan Pejanggik (atau Praya) di daerah tengah bagian
selatan. Pusat-pusat kebudayaan tersebut seluruhnya telah beragama Islam.
Meskipun terdapat beberapa pusat kebudayaan tersebut, namun kekuatan politik
saat itu terpusat di Selaparang dan Pejanggik. Sejak awal abad ke 17 Lombok
telah menjadi perebutan kerajaan-kerajaan besar disekitarnya. Perebutan
tersebut terjadi antara Kerajaan Gelgel dari Bali dengan Kerajaan Gowa dari
Makassar yang dibantu oleh Kerajaan Sumbawa yang berada di bawah pengaruh Gowa.
Pada tahun 1603 Lombok dapat dikuasai oleh Gelgel, namun pada tahun 1640 Lombok
direbut oleh Gowa.
Pada tahun 1723 Raja Selaparang meminta
bantuan Karangasem, Bali untuk menghadapi serangan dari Sumbawa. Pada Babad Lombok juga diceritakan bahwa
seorang patih bernama Banjar Getas melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan
Selaparang dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem, karena sakit hati istrinya
direbut oleh Raja Selaparang. Pada tahun 1740 Raja Pejanggik yang kemudian
menjadi Praya juga meminta bantuan Karangasem, Bali, yakni Ratu Gede Ngurah,
dari usaha kudeta yang ingin dilakukan oleh seorang pangeran. Karena sering
meminta bantuan Kerajaan Karangasem, akhirnya sejak saat itu Lombok berada
dibawah pengawasan Kerajaan Karangasem. Lambat laun akhirnya kerajaan-kerajaan
Sasak yang ada di Lombok dipaksa untuk mengakui kekuasaan Karangasem serta
dimintai upeti. Untuk memperkuat kekuasaannya atas Lombok, Kerajaan Karangasem
melakukan pendekatan-pendekatan kultural, diantaranya dengan mendukung
kepercayaan waktu telu yang lebih
toleran terhadap orang non muslim (Hindu) dibandingkan dengan waktu lima. Selaparang yang tidak setuju
dengan intervensi Karangasem ini kemudian memilih untuk mendekat ke Kerajaan
Sumbawa di masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin II (1795-1816).
Pada tanggal 5 April 1815, Gunung Tambora di Dompu, Sumbawa, meletus dan memuntahkan debu vulkanik
dalam jumlah yang sangat masif. Abu Gunung Tambora ini menutupi hampir seluruh
atmosfir bumi termasuk Eropa. Debu Gunung Tambora ini bertahan di atmosfir
sampai tahun 1816, sehingga tahun 1816 dikenal dengan ”the year without summer” oleh orang
Eropa. Pulau Lombok yang bertetangga dengan Sumbawa juga tidak dapat terhindari
dari bencana vulkanis ini. Berdasarkan catatan Crawfurd yang ditulis pada tahun
1856:
“Rasanya sangat menderita pada waktu
itu dan dalam jangka waktu yang lama setelahnya; ketebalan debu (vulkanis red.) yang turun
bervariasi [...] dengan kedalaman mulai dari satu hingga dua kaki. Bencana ini
tidak hanya menghancurkan tanaman pertanian, namun dalam beberapa tahun lamanya
(masyarakat) tidak dapat menanam jagung, dan akibatnya terjadi kelaparan,
penyakit dan pengurangan penduduk dalam jumlah yang banyak.” (Crawfurd,
1856 dalam Marrison, 1999)
Pada tahun 1826 M terjadi pemberontakan
Raden Suryajaya dan Komaladewa Mas Panji bersama rakyat Sakra terhadap Kerajaan
Karangasem yang berkuasa. Namun pemberontakan ini dapat dipadamkan, dimana
masjid besar Sakra dibakar, Raden Suryajaya dibunuh dan Komaladewa Mas Panji
bersama keluarganya ditahan di Cakranegara. Pemberontakan ini tampaknya
disebabkan oleh dua hal yang berkaitan, yakni:
- Penderitaan yang dialami oleh
masyarakat Sasak akibat bencana abu vulkanis dari Gunung Tambora yang
meletus pada tahun 1815.
- Masyarakat Sasak yang sedang
menderita merasa tidak diperhatikan oleh Kerajaan Karangasem (yang mungkin
saat itu juga sedang kesulitan akibat bencana abu vulkanis) dan bahkan
mungkin tetap menarik upeti dari kerajaan-kerajaan Sasak di Lombok.
Pada tahun 1843 Belanda mulai melirik
Lombok untuk memperluas daerah monopolinya. Pada tahun yang sama Belanda
melakukan perjanjian dengan Kerajaan Karangasem agar mengusir bangsa kulit
putih selain Belanda yang melakukan transaksi perdagangan di Lombok. Saat itu
Karangasem melakukan berdagangan komoditas pertanian dari Lombok dengan Inggris
dan Denmark. Sebagai imbalannya Kerajaan Karangasem meminta perlindungan
terhadap kapal dagang mereka, serta meminta Belanda untuk tidak mencampuri
urusan administrasi di Lombok.
Pada tahun 1838-1839 terjadi perebutan
kekuasaan wilayah Kerajaan Karangasem yang ada di Lombok. Perebutan kekuasaan
tersebut akhirnya menempatkan Raja I Gusti Ngurah Ketut Karangasem berhasil
berkuasa pada usia yang masih muda, dan mengalihkan pusat kerajaan dari
Kembangkerang ke Mataram. Di tahun yang sama tiga orang Sasak yang baru pulang
berhaji dihukum mati oleh kerajaan, mereka difitna telah melakukan pencurian.
Hal ini menyebabkan pecahnya pemberontakan di Praya yang menyebabkan kekalahan
telak orang Sasak. Mereka dipaksa untuk melucuti senjata-senjata mereka
(tombak, pedang, keris, parang dll), dan orang Sasak dilarang untuk mengunjungi
masjid. Namun kebijakan ini kemudian diperlonggar atas desakan salah satu istri
sang raja yang berasal dari orang Sasak dan atas desakan asisten dan penasihat
perdagangan luar negeri kerajaan, yakni seorang arab yang bernama Said
Abdullah.
Tidak tahan dengan tekanan ini, pada
tahun 1856 sebanyak empat ratus keluarga dari Lombok mengungsi ke Sumbawa. Dari
tahun ke tahun pemberontakan yang dilakukan oleh orang Sasak semakin intensif,
yang terbesar adalah pada tahun 1871 dan 1884 yang terjadi di Praya. Puncak
dari semua ini adalah dimulai pada tahun 1891 M. Paad saat itu Puri Mengwi
meminta bantuan Karangasem untuk merebut sebagian Gianyar yang saat itu
dikuasai oleh Klungkung. Karangasem meminta untuk dikirimkan tambahan 500
prajurit Sasak dari Lombok, namun kapal mereka dihadang oleh pasukan dari
Klungkung. Para prajurit tersebut terlunta-lunta dan kekurangan makanan
sehingga terlalu lemah untuk berperang, dan nasib mereka pun tidak jelas. Raja
meminta bantuan lagi dari orang Sasak, namun orang Sasak telah lelah dengan
sikap kerajaan yang represif lalu melakukan pemberontakan di Praya dibawah
pimpinan Tuanguru Bangkol. Mereka berhasil merangsek hingga ke Kediri, Lombok
Barat, namun kemudian datang bantuan dari Karangasem, Bali sebanyak 1.500
orang, dan akhirnya berhasil mematahkan pemberontakan dan menahan 300 orang
Sasak.
Akhirnya pada tanggal 7 Jumadilawal
1309 H yang bertepatan dengan 9 Desember 1891, tujuh pemimpin Sasak berkumpul
di Kopang, Lombok Tengah untuk merumuskan surat yang ditujukan pada Residen
Belanda di Bali. Mereka adalah Jero Mamik Mustiayaji dari Kopang, Raden Ratmawa
dari Rarang, Mamik Bangkol dari Praya, Raden Wiraanom dari Pringgabaya, Mamik
Mursasi dari Sakra, Raden Melaya dari Masbagik, dan Jero Ginawang dari Batu
Kliang. Mereka menyampaikan keluhan terkait upeti, kerja paksa, perampasan
harta, perbudakan, pelecehan terhadap perempuan, dan pembunuhan terahadap orang
Sasak yang tidak mau membantu melawan pemberontakan. Para pemimpin sasak ini
meminta bantuan Belanda. Akhirnya pda tahun 1893 Belanda mengirim pasukan KNIL
dari Jawa (Semarang) dibawah pimpinan Jendral J.A. Vetter dan P.P.H. van Ham
yang mendarat di Ampenan. Pasukan belanda ini berhasil dikalahkan, dimana
Jenderal van Ham tewas. Akhirnya Belanda mengirimkan kekuatan kedua yang lebih
besar dan berhasil meraih kemenangan. Raja Ratu Agung Gede Ngurah Karangasem
menyerah dan diasingkan oleh Belanda ke Batavia. Namun para pangeran tidak mau
menyerah dan melakukan puputan (perang
sampai mati) di Puri Cakranegara, dimana banyak anak-anak serta perempuan yang
mati di bunuh oleh tentara Kolonial Hindia Belanda dalam puputan itu. Akhirnya kekuasaan Karangasem di Lombok berakhir dan
digantikan oleh kolonial Hindia Belanda pada tahun 1894 M.
Sampai saat ini peninggalan zaman
keemasan Kerajaan Karangasem di Lombok Barat dan Mataram masih terjaga dengan
baik, diantaranya adalah Pura Meru, Pura Lingsar, Taman Mayura dan Taman
Narmada. Menurut catatan para pengunjung dari Eropa pada saat itu, mereka kagum
dengan keindahan tata kota Mataram dan Cakranegara. Mereka bahkan hampir tidak
percaya kalau yang mengembangkan kota tersebut adalah bukan orang Eropa, dimana
disepanjang jalan diterangi dengan lentera serta terdapat air mancur yang bisa
dimanfaatkan untuk air minum oleh para pejalan kaki.
Zaman
Penjajahan Hindia Belanda
Dibawah pemerintahan Belanda,
administrasi di Pulau Lombok dibagi menjadi tiga yakni
- Lombok Barat dengan pusat di
Mataram
- Lombok Tengah dengan pusat di
Praya
- Lombok Timur dengan pusat di
Selong
Lombok Barat mayoritas dihuni oleh
orang Hindu Bali sedangkan orang Sasak sebagian besar terkonsentrasi di Lombok
Tengah dan Lombok Timur. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Praya dan Selong
lebih dikembangkan daripada Mataram (yang memang telah lebih maju sebelumnya)
dengan didirikannya kantor pemerintahan, lembaga pendidikan, bank dan pusat
perdagangan. Sekolah formal yang pertama di Lombok dibangun di Selong, yang
saat ini telah berubah menjadi SMP Negeri 1 Selong. Di bawah kekuasaan Hindia
Belanda, Lombok menjadi bagian dari Residen Bali Dan Lombok dengan pusat di
Singaraja.
Berada di bawah kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda ternyata tidak lebih baik dari Kerajaan Karangasem. Beberapa
kali terjadi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Alasan
terjadinya pemberontakan ini secara umum ada dua, yakni:
- Penarikan pajak yang dilakukan
oleh Pemerintah Hindia Belanda secara semena-mena. Mereka turun ke
kampung-kampung dan mengambil hasil pertanian rakyat yang mereka anggap
sebagai pajak. Hal ini menyebabkan munculnya kemarahan dari orang Sasak.
- Penyebaran Kristen dan pembangunan
gereja di Lombok dianggap sebagai perbuatan orang kafir yang dapat
mengancam Islam di Lombok.
Beberapa pemberontakan terhadap pemerintah
Hindia Belanda yang cukup terkenal adalah pemberontakan di daerah Gandor dan
Pringgabaya, Lombok Timur. Sebagian besar pemberontakan yang dilakukan terhadap
Hindia Belanda dipimpin oleh pemuka agama Islam yang disebut TuanGuru. Selain perlawanan dengan senjata, para tuanguru juga melakukan
perlawanan secara kultural. Hal ini dilakukan dengan menolak budaya-budaya
barat yang diperkenalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan melakukan
kajian-kajian agama Islam yang lebih intensif untuk membendung budaya Kristen.
Sampai sekarang bukti-bukti sejarah yang masih utuh masih
ada tersebar di Lombok. Bukti yang sangat umum adalah masjid kuno bayan yang
sampai sekarang masih di jaga dan di lestarikan, Meriam yang ada di tanjung
ringgit mengarah ke lautan masih ada dan dalam tahap pelestarian oleh
pemerintah setempat.
Sumber Gambar :Tropomuseum